Oleh : Adhisty Khoerunnisa Fitri Septiani Priyanto
Hari ke-5 Bukittinggi, Surau Kamba
“Apak[1] pernah punya mimpi besar untuk Indonesia” Lirihnya, dengan sorot mata lurus menatap pematang sawah
“Pernah?” Sahut gadis di sebelahnya
“Ya, sebelum jumpa dengan wanita pujaan dari Negeri Sakura”
Kirai Hayati Rauba, seorang gadis yang tumbuh dengan harapan besar dari Apak nya. Dimana kelak menjadi bunga kehidupan di tanah leluhurnya, Surau Kamba Nagari Ampang Gadang.
***
Tahun 2000 tak banyak orang hidup mentereng, hanya bermata pencaharian petani sawah atau ladang. Anak mudanya lebih memilih membantu orang tua mereka ketimbang melanjutkan pendidikan. Beberapa saja yang sekolah, itupun tak jauh dari anak seorang PNS atau Datuak di nagari nya. Kirai salah satunya. Saat ini ia bersekolah di SMAN 1 Bukittinggi, tinggal menghitung hari untuk menerima surat kelulusan.
Sedari kecil Apak menanamkan keyakinan pada Kirai untuk menjadi pemimpi besar. Selagi tak bayar untuk bermimpi, begitu kata Apak. Namun, saat Kirai menyampaikan mimpinya tiga hari yang lalu, seolah ia dibangunkan dari tidur panjangnya. Mimpinya bukanlah harap Apak, bahkan bumerang untuk sekitarnya.
“Kirai terlahir untuk Surau Kamba, Indonesia. Bukan menjadi inai di negeri orang” tegas Apak.
Ditengah kemelut mimpinya, selalu ada Amir Zulkarnaen yang menemaninya bahkan dari 19 tahun lalu. Ia adalah hidup bagi Kirai. Seorang kawan bijak yang di besarkan oleh Apak bersama dengan Kirai. Hanya Apak seorang diri, Amak[2] meninggal ketika melahirkan Kirai, begitu cerita Apak. Sedang orangtua Amir, urang Japang (Orang Jepang) yang menikahi gadis Surau Kamba kemudian meninggal pula ketika melahirkan Amir dan menitipkannya pada Apak sebagai Datuak di sana.
***
Amir tak pernah mengingat memori masa kecilnya, ia hanya memiliki selembar sobekan foto yang menampakan seorang wanita mengenakan kebaya merah dan anak kecil laki-laki kurang lebih berusia satu tahun di pangkuan wanita itu yang Amir ketahui sebagai ibunya. Namun, sobekan foto itu telah lama usang ketika Amir terima dari Apak, hingga ia tak pernah tau wajah wanita yang melahirkannya.
Hari ini Amir berencana menemui Apak untuk membicarakan tentang keinginan Kirai melanjutkan kuliah ke Jepang. Terlihat Apak sedang memperhatikan selembar foto dan kotak yang ada di atas meja.
“Permisi Apak..” Sapa Amir, hati-hati. Apak terkejut ketika melihat Amir dihadapannya, segera memasukan foto itu ke dalam kotak dan menyimpan di belakang tubuhnya.
“Ya.. Amir, ada apa?”
“Maaf jika ambo tidak sopan. Ada yang hendak ambo bicarakan dengan Apak” Kata Amir.
“Yah silahkan. Sepertinya Apak tau arah pembicaraan Amir”
“Begini Apak, ambo bicara disini mengatas namakan Kirai. Tak tega ambo melihat Kirai murung sebab Apak tidak memberinya izin untuk kuliah ke Jepang” Jelas Amir.
“Amir, kau tau bahwa tanah Surau Kamba ini memegang erat janji nenek-moyang nya. Apak inginkan Kirai sebagai penyambung lidah atas janji yang pernah Apak ikrarkan untuk nagari ini. Melahirkan cucu-cucu intelektual yang kaya akan ilmu pengetahuan” Kata Apak sembari memegang pundak Amir
“Tapi Apak, ambo berjanji nak menjaga Kirai disana. Jika itu yang dikhawatirkan Apak”. Apak tak menyahut perkataan Amir.
“Jepang adalah mimpi pertama Kirai, satu-satunya harap ketika ia diajari Apak untuk berani bermimpi. Dengan kerendah hatian, ambo harap Apak mengizinkan kami”
Apak mencari keyakinan dari sorot mata Amir, kemudian menganggukan kepalanya.
“Sudah saatnya, hikayat ini terpecahkan”Batin Apak.
***
Hari ke-15
“Kirai, kau lulus..” sorak Amir,bahagia.
“Ahh.. kau pun sama Amir. Bahkan kau menjadi lulusan terbaik” Sahut Kirai sambil memamerkan deretan gigi putihnya sembari menyikut siku Amir. Sedang Amir menggaruk tengkuknya yang tentu saja di buat-buat gatal.
“Ayo pulang” Amir menaiki sepeda tua pemberian Apak, membonceng Kirai yang sudah siap melingkarkan tangannya ke perut Amir.
Amir melajukan sepedanya, bukan menuju rumah. Melainkan ke arah pusat kota Bukittinggi. Menaiki menara Gadang, tempat yang paling fenomenal disana.
“Hendak apa Amir?” Tanya Kirai, yang tangannya tak lepas di genggam Amir.
“Ada yang hendak Ambo sampaikan pada Kirai” Sorot mata Amir menyiratkan keseriusan, dengan bibir yang sedikit bergetar.
“Dari atas sini, tempat tertinggi yang disucikan nagarinya. Ambo hendak membahasakan hati dengan bahasa cinta. Bahasa yang Ambo harap diterima Kirai dengan rasa yang sama” Kirai masih diam, ia paham maksud pria manis berwajah oriental dengan rahang terpahat kokoh di depannya.
“Ambo cinta akan Kirai, sediakah Kirai menerima Ambo lebih dari seorang kawan?” ucap Amir penuh keyakinan
Kirai tak kunjung menjawab, ia hanya memberikan senyuman. Kemudian diarahkan kedua tangannya memeluk Amir.
“Sumpahku Amir, menjadi kehidupan untukmu. Saat ini, esok dan selamanya”
***
Kirai dan Amir sedang menunggu pak pos mengantarkan hasil seleksi mereka mendaftar beasiswa ke Jepang. Tak lama Apak datang membawa dua cangkir teh hangat, duduk diantara Amir dan Kirai.
“Apak pernah salah bermimpi, menjulang terlalu tinggi. Kala itu Apak punya sayap, tapi tak terbang, sebab ia hilang, di bawa ke negeri orang”
“Kenapa Apak ini selalu saja memulai kalimat dengan kata pernah. Seolah masa silam Apak urung tuk di kenang”. Kirai menanggapinya bingung, sedang Apak hanya membalasnya dengan senyum.
Tak lama yang mereka tunggu-tunggu tiba. Amir dan Kirai sudah menenteng amplop masing-masing dan siap membukanya. Mereka senang sekaligus gelisah.
Saat kertas pengumuman tersebut terlihat jelas, senyum di wajah Amir semakin mengembang, sorot matanya menyambut kebahagiaan. Sedang Kirai, ia tertunduk, matanya mulai berair beradu pandang dengan Amir. Lepas beberapa detik Kirai berlari meninggalkan Amir dan Apak.
***
“Ambo hendak menyusul Kirai Pak” kata Amir sambil memakai jaketnya
“Tunggu saja. Dia perlu menenangkan hatinya” Jawab Apak, beranjak kearah kamarnya.
“Hari sudah hampir gelap, Kirai tak bisa di luar seorang diri”
“Kemari Amir” Amir menemui Apak yang sedang duduk di tepi ranjang, memegang sebuah kotak yang tempo hari pernah Amir lihat di ruang tamu.
“Di dalam kotak ini, adalah hidupku, hidup mu dan hidup Kirai” jelas Apak hati-hati
“Ambo tak paham, apa maksud Apak?” Apak membuka kotak itu, mengeluarkan selembar foto.
“Kau pasti mengenal nya”. Amir mengambil foto itu, menatapnya lekat. Tangannya gemetar, air mata nya tak terbendung dengan sorot mata nyalang
“Jadi, Apak menyembunyikan semuanya dari Ambo? Dari Kirai?”
“Apak terlalu takut untuk menjelaskan nya”. Amir terdiam, menunggu kalimat Apak selanjutnya
“Itulah alasan Apak melarang Kirai bersekolah di Jepang” lanjut Apak
“Karena Apak tak mau kehilangan Kirai seperti Apak kehilangan perempuan ini?” Apak menatap Amir tak percaya dengan sanggahan pemuda itu
“Jadi cerita tentang Ambo, seorang anak terbuang pun kebohongan? Dimana Datuak terpuji nagari Surau Kamba ini adalah.. Apak kandung… Ambo” ucap Amir tak percaya dengan perkataannya sendiri.
“Kau salah menafsirkan Amir” Sergah Apak
“Lalu bagaimana yang benar? Apak hendak menutupi kebohongan dengan kebohongan yang lain? Cukup, Ambo tak mau lagi dengar”
Amir bergegas menuju kamarnya, merapikan beberapa pakaian kedalam koper
“Hendak kemana kau Amir? Kau salah, tunggu Apak hendak muluruskan sangkaanmu” Apak mencoba menahan tangan Amir.
“Ambo hendak ke Jepang. Biarkan Ambo meluruskan sangkaan ini di sana. Dengan terang, bukan kebohongan” Amir melangkah pergi, tepat di ambang pintu ia berpapasan dengan Kirai. Keduanya menatap dengan sendu.
“Amir..”
“Kirai..” panggil mereka bersamaan.
“Kemana?”
“Ambo hendak mencari kehidupan.. yang lain”
“Tapi, Ambo ini hidup kau Amir” Tangan Kirai mencoba mencegah Amir, meski ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kirai menatap kepergian Amir, kemudian melihat kearah Apak, mencari penjelasan.
***
Hari ke-27 Osaka, Jepang
Amir berdiri mengamati sakura yang mulai bermekaran dari ketinggian Istana Osaka. Menatap selembar foto yang membawanya ke Jepang. Teringat kejadian tempo hari yang menjadi alasannya berada disini.
“Jadi, Datuak adalah Apak ambo? Dan Kirai…” batin Amir.
Amir sungguh tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang ia ketahui sebagai Amak nya, bersebelahan dengan Datuak yang sama-sama menggendong anak perempuan sebayanya. Kirai.
Datuak muda mengenakan saluak, tutup kepala sebagai ciri khas orang Sumatera Barat. Sedang perempuan itu, ternyata Amir salah. Ia bukan mengenakan kebaya merah, melainkan kimono, baju adat Jepang dengan rambut yang tersanggul. Keseluruhan wajahnya seperti Kirai, tidak pada matanya. Karena sama dengan milik Amir.
Ingatannya berlanjut tentang percakapannya dengan perempuan di balik hikayat selama ini, yang berhasil Amir temui beberapa jam lalu.
“Kau memang bukan anak ku Amir. Anak ku hanya Kirai. Benar kata Datuak Rajan, kau anak urang Japang, anak kakak ku” Jelas Mayumi, Amak Kirai.
Ketika Amir memutuskan pergi dari rumah malam itu, ia tidak bisa berfikir lebih logis. Ia di hantui oleh kenyataan bahwa ia dan Kirai kakak beradik, yang ternyata semua anggapannya salah. Amir terlalu takut, ia mengkhawatirkan perasaannya, tapi berimbas dengan mengesampingkan perasaan Kirai. Amir pergi tanpa pamit. Ia salah, jawaban atas hikayat ini tak sepenuh nya ada disini, ia tertinggal bersama kehidupan nya, Kirai. Di Surau Kamba, Bukittinggi Indonesia.
***
“Terimkasih Kirai, telah memilih untuk tinggal”
Apak menggenggam erat tangan anak semata wayangnya. Dengan menenggelamkan wajahnya, tak berani menatap Kirai.
“Kirai pahami petuah Apak selama ini, tentang mimpi. Tak ubahlah Kirai pemimpi besar, jika Kirai hanya bermimpi untuk diri sendiri. Kirai terlahir untuk negeri ini, bukankah Apak pernah beritahu tentang arti nama Kirai Hayati Rauba? Bunga kehidupan di Surau Kamba?”
“Tapi Apak telah membohongimu, tentang Amak kau”
“Justru Kirai merasa bersalah pada Apak, membiarkan Apak berjuang sendirian. Bukankah menutupi kebenaran butuh perjuangan? Tak usah lagi Apak merasa bersalah atas mimpi Kirai. Kendatipun Apak membiarkan Kirai pergi ke Jepang, Kirai akan tetap memilih tinggal” Kirai memeluk tubuh Apak nya yang mulai renta.
“Kirai tak akan seperti Amak yang meninggalkan Apak. Meskipun saat ini Kirai merasakan ditinggal seseorang” mata Kirai mulai berair, mengingat kepergian Amir
“Amir akan kembali Kirai, percaya pada Apak”
***
Hari ke-29 Bandara Internasional Minangkabau
Hari ini untuk pertama kalinya Mayumi menginjakan kaki di tanah Indonesia. Setelah 18 tahun lalu meninggalkan negeri ini, dan cinta pertamanya juga buah hati yang sudah beranjak remaja.
“Ante, mari ambo sudah dapatkan sewaan mobilnya”. Setelah Amir meyakinkan Mayumi untuk kembali ke Indonesia, akhirnya Mayumi bersedia. Ia berniat untuk memperbaiki semuanya.
Selama perjalanan ke Bukittinggi, Mayumi teringat hari terakhir meninggalkan Datuak Rajan. Saat mereka saling mempertahankan egonya, demi adat istiadat nenek moyang.
“Biarkan aku pergi saja, ku titipkan Kirai dan Amir padamu. Sampai kapanpun, keluargamu tak akan pernah menerima ku dan kakakku. Kami tak terlahir dengan darah yang sama dengan mu, darah Indonesia. Kau boleh menganggapku tak lagi ada. Agar Kirai sepenuhnya milikmu, milik tanah leluhurmu”
***
Hari ke-30 Bukittinggi, Surau Kamba
“Amiirr..”
“Kiraiii…”
Diteras depan rumah, saat Kirai sedang mengajar beberapa anak kecil. Ia dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang sudah di rindukannya. Amir tak seorang diri, ia bersama dengan seorang wanita paruh baya yang sedari tadi menatapnya ketika ia memeluk Amir.
“Kiiraaii..” panggilnya terbata, matanya telah penuh dengan genangan air. Tangannya mulai menyusuri wajah Kirai, mengelus rambutnya.
“Ini Amak mu, Kirai” Kata Amir
“Aaamaak..” Sedetik kemudian, Kirai berhambur kearah pelukan Mayumi. Airmatanya dibiarkan bermuara di pundak wanita yang telah melahirkannya.
“Maafkan Amak Kirai” Mayumi menatap kearah belakang tubuh Kirai yang masih dalam pelukannya, berdiri seorang laki-laki yang tak kalah dirindukannya. Apak hanya tersenyum. “Akhirnya, hikayat ini sempurna”
SELESAI
[1] Apak : orangtua laki-laki, ayah
[2] Amak : orangtua perempuan, ibu