Oleh : Sabilla R. Fauzi
Eratnya gejolak kapitalisme yang semakin berkuasa, membawa segerombolan anak muda berhimpun untuk melepaskan diri dari prinsip-prinsip ekonomi pasar yang gila-gilaan, saling bersua, mencari media penyelamatan. Ketika majalah pada umumnya mengutamakan bisnis dan iklan dengan konten-konten yang berkiblat pada konsep pasar, Zine dengan lantang melawan semua prinsip itu.
Selepas reformasi dan munculnya sebuah keterbukaan, ASAS UPI dengan segala prinsip kemandirian yang ia bibit, hadir untuk pertama kali dalam Bandung Zine Fest Tahun 1995 dengan nama Raja Kadal. Dari sanalah Zine di Indonesia bermula sebelum pada akhirnya Zine mulai berisi dengan kesenirupaan dan kesastraan, mulanya kebanyakan Zine di Indonesia bertendensikan musik punk, underground, dan anarkisme.
Zine di Universitas Pendidikan Indonesia berkembang di bawah naungan sebuah organisasi bernama ASAS UPI, yang dahulu disebut ASAS Zenith. Bermula dari Teater Zenith Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, membawa kreativitas mahasiswa yang begitu masif hingga rasanya tidak cukup jika hanya dibuat untuk teater. Pada akhirnya dibuatlah sarana untuk kepenulisan, dan setelah terdaftar secara administratif, ASAS UPI resmi menjadi UKM pada tahun 1997 yang keanggotaannya bersifat seumur hidup.
Moh. Wan Anwar, Doddy Ahmad Fauzy, dan Deden Abdul Aziz, adalah tiga penggagas yang paling merasa resah akan kesusastraan. Pertanyaan soal logo bulan dan dua awan panjang berwarna hitam pun selalu menjadi hal yang menarik. Makna dibalik warna hitam sendiri adalah malam, karya-karya cenderung bermunculan di malam hari. Salah satu konsep dari kontemplasi berkarya adalah kesunyian, jauh dari modernitas, dan tercipta saat malam hari, satu-satunya hal yang menemaninya adalah bulan. Sedangkan awan, adalah implisitas dari modernitas.
“ASAS UPI bermula dari kamar mandi”, ujar Agung Nugraha sambil tertawa. Secara denotatif, sekretariat pertama mereka terjadi di kamar mandi. Terkadang, kebanyakan orang seringkali berpikir hal-hal unik nan aneh di dalam kamar mandi, begitulah tuturnya. Namun, satu-satunya alasan logis mengapa ASAS UPI akhirnya dibentuk secara UKM, adalah karena pada masa itu, ASAS UPI membutuhkan biaya untuk berkarya.
Sebelum Zine dikelola oleh ASAS UPI secara penuh, seorang anggota ASAS UPI bernama Ujianto Sadewa pernah mendistribusikan karyanya secara pribadi dengan nama Raja Kadal. Setelah itu, Raja Kadal dilanjutkan oleh anggota ASAS UPI lainnya hingga tahun 2013. Sampai pada saat ini, lahirlah Zine yang sepenuhnya dikelola oleh ASAS UPI dengan tajuk Waswasulkarim.
Perbedaan antara Raja Kadal dan Waswasulkarim terletak dalam segi konten. Raja Kadal, secara konten lebih bebas dan cenderung berisi teks. Sastra benar-benar hadir sebagai teks di hadapan masyarakat. Sedangkan Waswasulkarim dapat dikatakan lebih modern dan tidak seperti majalah biasa, dikarenakan ada beberapa konten yang sengaja disisipkan barcode, fungsinya agar karya-karya tersebut bisa diunduh dan dinikmati langsung oleh para pembaca.
Barcode dalam Waswasulkarim berfungsi untuk menyuguhkan karya-karya yang tak kasat mata. Seperti musikalisasi puisi yang produk utamanya berupa musik, agar para pembaca bisa mengetahui seperti apa lagu atau karya tersebut, mereka bisa mengunduh dan mendengarkan produknya langsung dengan bantuan barcode yang sudah diberikan. Waswasulkarim juga menyediakan sertifikat kepemilikan dan single khusus di akhir halaman majalah dalam bentuk barcode.
Selain Waswasulkarim yang didominasi oleh tulisan dan mengangkat wacana sastra atau wacara-wacana baru, masih ada Zine lain yang serupa. Sampoer Merah adalah salah satu contohnya. Zine bernama Sampoer Merah ini menggunakan konsep koran lama, mulai dari kemasan, ejaan, hingga isi berita. Kontennya berisi wacana-wacana lama, mengetik ulang apa yang sudah pernah ada. Sedangkan contoh Zine dengan dominan gambar bisa ditemukan di dalam Binatang Press. Binatang Press adalah salah satu contoh Zine yang juga unik, berfokus pada teknik percetakan dan visual, berisi gambar dan ilustrasi.
Secara ejaan, Zine berarti burung yang bebas. Memenjarakan burung itu sama saja dengan membiarkan ia menghancurkan sarangnya sendiri. Konsep awal Zine adalah keluar dari segala hal-hal bersifat normatif. Salah satu semangat Zine adalah dimana ia berbentuk fotokopi, yang mana secara normatif bertentangan dengan copyright, disanalah Zine membentuk perlawanannya.
Dalam pandangan sastra, Zine adalah sebuah kemandirian, melahirkan kebebasan, dan ASAS UPI adalah garda menulis terakhir di Bandung. Dahulu sebelum ada ISBN dan ISSN, ketika seseorang ingin menerbitkan sebuah karya, ia harus membayar kesana kemari demi menyesuaikan seleranya dengan pasar, yang mana membuat orisinalitas semakin tersingkir. Maka dari itu Zine hadir, membiarkan karya-karya terlahir secara telanjang dan utuh tanpa perlu melewati proses penerbitan legal. Semangat Indie.
Menurut Rafqi, sebagai Ilustrator yang mengerjakan seluruh artwork Waswasulkarim sekaligus kepala redaksi, majalah berbentuk cetak yang berisi berita-berita hangat itu dapat dikatakan sudah mati. Satu hal yang tidak bisa mati adalah publisitas buku karena memiliki nilai prestise yang tinggi. Sesuatu berwujud nyata, dapat dilihat, memiliki nilai kepemilikan yang berbanding jauh dibanding bacaan berbentuk jejaring. Zine pun demikian adanya.
Rafqi berkata bahwasanya, “Bagi aku, masa depan Zine di Indonesia akan panjang sekali. Ia bukan hanya mengenai permasalahan pemberitaan atau informatis, tapi dia akan menjadi sebuah karya seni, sebuah artefak. Karena tulisan khususnya sastra, tidak akan hangus begitu saja, namun terus menjadi catatan sejarah.”
Editor : Fitria Nissa Zahara