Oleh : Ismi Hakim Azzahrah
Biru tidak selalu haru. Buktinya, tempat dan kendaraan di sini tidak sedikit pun komponennya layu. Tiang-tiang berdiri tegap, kendaraan umum berbaris rapat, mesin berderu cepat, sopir dan kernetnya berteriak kuat, “Leuwi Panjang neng!”.
Satu, dua, tiga kendaraan datang. Bersamaan dengannya, ada kendaraan yang pergi, pun bergegas. Ada sopir yang rehat, pun berangkat. Bus Damri Ledeng – Leuwi Panjang menjadi salah satunya di siang itu. Menyambut kedatangan penumpang, pintu bus perlahan terbuka lantang. Nyaman, penumpang langsung disambut dengan senyuman. Lengkap berseragam hitam – putih rapi, sopir tersebut menunjukkan kursi kosong tuk ditempati.
Bus ini tidak akan utuh tanpa kursi biru bercorak yang saling berhadapan, tiang-tiang perak berkilap, pegangan tangan kuning yang bergelantungan, serta dua pasang kursi khusus penyandang disabilitas, jompo, dan ibu hamil. Yang sakral adalah sopir dan penumpangnya. Nyatanya, semua unsur saling melengkapi.
Waktu menunjukkan pukul 13.34 saat bis bertolak meninggalkan pangkalan. Seorang ibu dan anak perempuannya menjadi penumpang terakhir yang hadir. Keduanya mengenakan pakaian bergaris senada keunguan. Dituntunnya tangan manis anak itu, mencari kursi sepi tuk ditempati. Menarik perhatiannya, sepasang kursi terlipat dinilai tepat. Duduklah keduanya di kursi khusus penyandang disabilitas, jompo, dan ibu hamil itu. Memang keduanya tidak memenuhi kriteria, tetapi badannya perlu bersandar.
Anak perempuan manis itu tampak mengalami suatu hal baru. Namun perhatiannya tak kekal pada yang lokal. Kembalilah ia lihai bermain gawai. Ibunya hanya mengawasi. Sesekali tangannya melindungi, dari guncangan yang kadang terjadi. Lagi, perhatiannya pindah ke lain situasi. Kantuk ia rasakan kini tidak lagi terobati.
Satu, dua, tiga kursi kosong mulai terisi, oleh yang tua juga muda, oleh yang wanita juga pria. Sukajadi menjadi pemberhentian pertama bagi penumpang baru yang diharuskan berdiri. Sedang Paris Van Java sebagai pemberhentian pertama yang menurunkan penumpang. Kursi kosong satu, sampai akhirnya terisi di Pasar Sukajadi.
Bus terhenti di Pasar Sukajadi, menjemput sepasang sejoli yang kupercayai sebagai pasangan suami istri. Sama-sama membawa ransel menggembung, sang suami mencarikan kursi bagi istrinya tuk mengistirahatkan kaki. Istri terduduk, sang suami terdiam namun tak kikuk. Mesra, sang suami berdiri dihadapan istri sembari memanfaatkan pegangan tangan yang bergelantungan. Tak lama, tidur dari anak sang ibu harus berakhir. Keduanya mengakhiri perjalanan busnya di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjajaran. Meski kursi tilasnya kosong, sang suami tak berbohong, kursi itu bukan haknya, pun ia tidak memenuhi kriteria.
Bersamaan dengannya, segerombol penumpang baru masuk. Menarik perhatian seisi bus, satu dari enam penumpang tersebut tidak terlihat sehat. Adalah lelaki berbalut jaket ungu bercorak absurd, dengan sebelah mata tertutup, langkahnya terseret lesu, arahnya tak menentu. Penampilannya menambah unsur pilu. Jaket dan celananya lusuh, warnanya luntur, tangan lemasnya memegang map diagnosa berbalut sarung tangan kelabu. Penumpang lain berlomba-lomba menolong. “Sini, sini duduk disini,” ujar salah satunya. Dituntun oleh istrinya, bapak itu duduk di kursi khusus yang telah kosong. Beginilah seharusnya kursi itu menolong.
Cuaca Ledeng dan Padjajaran ternyata tak sama. Meski tak hujan, jalanan tergenang. Bahkan hingga Leuwi Panjang. Satu persatu penumpang turun bergantian. Diserahkannya uang perjalanan kepada sang sopir.
Lembab udara Leuwi Panjang. Tapi gerahnya bukan kepalang. Setidaknya perjalanan singkat ini patut dikenang.