• IKOM

    Muda, Lugas, Berkualitas

  • CONTACTS

COMAGZ #1 : PASKAL DAN KONSEP BAHAGIA

Oleh : Muslihah Fahma

Lost on the freeway/ Well, this must be LA/ Tired and lonely/ With no real place to stay/ Is this the future and where I’m gonna be?/ Last night it hit me/ When I had this crazy dream//

Lantunan lagu San Fransisco Street memanjakan telinga pengunjung yang bertandang. High heels bersinggungan dengan ubin, harum parfum beraneka ragam memenuhi indera penciuman. Make up memoles paras rupawan dengan gawai di genggaman tangan. Jajaran gerai busana mahal seolah berusaha menarik pengunjung untuk memborong komoditasnya dengan menawarkan harga miring. Denting garpu dan sendok beradu, saling berlomba menyuap pada mulut sang majikan yang lapar setelah seharian lelah menjalani hari.

Hidup adalah soal kompetisi, dan Paskal 23 yang berdiri di atas tanah seluas 40.000m2 seakan menjadi ruang untuk membuang penat. Lupakan sejenak soal kemacetan kota, konflik dengan teman kerja, tumpukan tugas yang menanti diselesaikan. Tempat ini bagai memberi segala kenyamanan dunia, yang sejatinya tidak lebih dari penghamburan harta semata.

Aku takjub, sedikit mengamini juga bahwa salah besar jika kebahagiaan tidak bersumber dari harta! Orang-orang bekerja siang malam tidak lain untuk kumpulkan pundi-pundi rupiah. Setelahnya? Hamburkan untuk kesenangan duniawi! Pakaian dengan kortingan harga, kudapan dengan konsep ‘buy 1 get 1’, riasan yang selalu mengeluarkan inovasi terkini, sinema dengan film teraktual, dan pernak-pernik lucu guna konten pajangan di sosial media.

Namun, sepasang mata ini menangkap dua orang pemuda berseragam pelayan toko. Di sudut Mumuso, di antara rupa barang yang memiliki target penjualan per hari, mereka bersandar di dinding berwarna cokelat. Pemuda satu mengenggam gawai –entah apa merknya, tidak terlihat jelas, tapi tawa dua insan begitu terdengar jelas. Wajah mereka terlihat lelah, namun bermodalkan video lucu yang ditayangkan oleh ponsel pintar itu, seolah sedikit mengangkat letih.

Di toko pernak-pernik lainnya, seorang wanitamuda terlihat penat menyusun barang agar tertata rapi sesuai prosedur. Saat bersamaan, sekumpulan pemuda berkumpul di meja makan dengan suasana hening. Semua tangan menggenggam satu benda berharga, smartphone katanya. Sibuk, entah untuk apa pertemuan itu diselenggarakan jika pada akhirnya mulut terkunci tidak saling berbagi beban agar hidup tidak terasa berat dijalani sendiri. (60)

Inikah konsep modernitas? Bertemu di tempat dengan kemewahan tiada tara, saling mengambil foto lalu memberitahu kepada dunia bahwa mereka bahagia berkumpul bersama, yang pada kenyataannya: teman berujung sebuah konten saja. Bagaimana konsep bahagia yang sebenarnya? Apakah hanya dengan saling memajang foto di dunia maya? Apakah senyum penjaga keamanan di pintu awal? Apakah barang terjual yang memenuhi target? Ataukah menghabiskan duit demi tuntutan pergaulan?

Ah, rumit! 500 Miliar yang digunakan untuk membangun tempat megah ini bahkan membuatku kembali bertanya. Jadi apakah harta dapat membawa kebahagiaan? Ataukah harta hanya ilusi semata? Kaki yang melangkah dari satu gerai ke gerai lainnya, setelah kembali ke rumah sebagai tempat peristirahatan akankah masih tetap bahagia?

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *