Oleh : Frida Ramadhanty Santika
Riuhnya suara pekikan menyambut kedatangan saya terang itu. Sang kondektur dari segala arah mulai beraksi, menjebak para penjejak yang kelimpungan mencari-cari. Ada yang terjerat, ada yang berhasil lewat. Ada sepasang kaki yang bergairah melangkah, pun ada pula yang menunda tuk sekedar pindah. Ya, inilah Terminal Leuwi Panjang, tempat dimana debar tak sabar bertemu dengan yang tercinta, tempat dimana sesak di dada tak kuasa berpisah dengan yang terkasih.
“Tet!!!” bunyi klakson dari salah satu bus jurusan Bandung-Jakarta mengaburkan pandangan saya. Ternyata ada tradisi unik ketika bongkahan mesin itu kembali ke sini. Para supir memberi tanda pada bus lainnya untuk memulai perjalanan selanjutnya. Para penjejak pun berhamburan hendak keluar. Menuruni tangga tanpa tergesa-gesa, akan beralih tempat, saya rasa. Benar ternyata, di sini tidak ada jiwa yang serakah, semua sudah paham betul di bagian mana rezekinya berada.
Sang surya mulai menunjukkan eksistensinya. Berdiri sejajar, tegak dengan dahi manusia. Keringat terlihat membanjiri. Semua orang mengibaskan benda apapun yang ada di genggamannya, setidaknya sampai basah di tubuhnya mengering. Memang tidak mengherankan jika sedari tadi jongko minuman di tepi-tepi itu begitu digandrungi. Begitu lelah sepertinya pekerjaan ini. Tapi percayalah, jangan pernah menampik berapa kali lipat harganya naik. Karena begitu melihat air yang masuk mengaliri kerongkongan itu, rasanya tetap saja nikmat dilihat. Mungkin bagi mereka, melepas dahaga sama rasanya seperti terbang ke surga.
Beruntungnya, saya tidak melihat apapun yang orang kata dari tempat ini. Aksi kriminalisasi yang perlu diwaspadai, katanya. Mungkin karena sorot mata saya hanya terfokus pada banyak pasang kaki. Nampaknya sebagian ragu harus melangkah kemana. Tapi akhirnya saya mulai menyadari, di persinggahan ini, semua orang bisa bertemu tanpa perencanaan, tidak ada pertandanya. Dua insan bisa jua saling berjabat tangan, tidak peduli apakah sebelumnya sempat berpapasan.
Hal itu pun membuat saya paham, mungkin itulah alasan mengapa seorang penjual koran dan petugas kebersihan berkeliaran. Mungkin itu pula alasan mengapa distributor batu akik itu mau menjajakan dagangannya di terminal. Ia seolah tak peduli dirinya seasing apa. Percaya, tempat ini lah yang perlahan mengakrabkannya. Biarlah merah, kuning, dan hijaunya batu akik itu menjadi pertanda bahwa perbedaan yang tercipta adalah warna pemersatu. Mustahil jadi sepi, jua tak mungkin merasa seperti sendiri.
Terbukti sudah, memang disini, tidak akan bisa orang-orang berjalan sepi. Percayalah bahwa setiap sudut di tempat ini adalah saksi, kita tidak akan pernah dibuatnya seorang diri. Bahkan ketika dipaksa menunggu pun, kita bertemankan banyak pilihan. Memilih untuk mengunjungi taman baca Puseur Ilmu, misalnya. Tempat penyedia buku yang tempatnya begitu eksis di bangku para penunggu. Terlepas apakah buku itu dibaca atau tidak, yang saya tahu, buku itu hanya menunggu untuk dirapihkan. Mungkin karena ia tahu bahwa selalu ada pergi dari setiap yang datang, selalu ada perpisahan selepas pertemuan.
Dari tempat bernama terminal, saya percaya bahwa selalu ada tempat yang setia menanti untuk disinggahi. Selalu ada tempat bagi mereka yang sedang merindu, ingin pulang ke pangkuan ibu. Terminal, setiap jengkal jarak busnya paham betul betapa pilunya sebuah pergi, pun paham betul indahnya manakala menyambut kedatangan. Tempat ini begitu mustahil jadi sepi, sebab mereka yang pulang akan tergantikan dengan yang datang.